Dear sahabat semua di materi kali ini kita akan membahas tentang mengenali dan mengukur kesiapan diri untuk menikah. Sebelum memutuskan untuk memulai pernikahan tentu kita perlu melihat ke diri sendiri dulu apakah sudah siap atau belum menikah ?
Di materi mengukur kesiapan diri menikah kita akan melihat dari 2 aspek. Pertama adalah aspek hukum syariat pernikahan dan kedua aspek psikologis.
Aspek syariat mengacu pada beberapa hukum pernikahan, sementara aspek psikologis lebih kepada melihat dan mengenali diri dari sisi kepribadian, dan mental untuk menjalani pernikahan.
A. Mengukur kesiapan menikah dari syariat hukum pernikahan
Para ulama ketika membahas hukum pernikahan, menemukan bahwa ternyata menikah itu bisa menjadi beberapa hukum. Bisa menjadi sunnah, wajib, mubah, makruh bahkan bisa juga menjadi haram.
Kita akan coba pelajari satu per satu.
1. Hukum pernikahan wajib
Menikah akan menjadi wajib hukumnya apabila terpenuhi dua syarat. Pertama dikhawatirkan akan terjerumus pada perzinaan dan memiliki kemampuan secara finansial bagi laki-laki, serta sudah diizinkan oleh walinya bagi wanita.
Rasulullah Saw bersabda :
Dari Abdullah bin Mas’ud ra berkata Rasulullah Saw kepada kami :
“Hai para pemuda ! Barangsiapa di antara kamu sudah mampu kawin, maka kawinlah. Karena dia itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan siapa yang belum mampu hendaklah dia berpuasa karena dapat menahan (HR. Bukhari Muslim)
2. Hukum pernikahan sunnah
Hukum pernikahan menjadi sunnah bagi seseorang yang sudah memiliki kemampuan menikah namun tidak merasa takut terjerumus pada zina. Bisa karena masih muda atau berada di lingkungan yang baik.
Bagi mereka yang hukum pernikahannya sunnah jika tetap menikah tentu akan mendapatkan banyak keutamaan dibandingkan tetap sendiri.
3. Hukum pernikahan mubah
Hukum menikah menjadi sunnah bagi orang – orang yang berada di posisi tengah – tengah antara hal – hal yang mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, tidak dianjurkan untuk segera menikah tetapi juga tidak ada larangan untuk menikah.
4. Hukum pernikahan makruh
Hukum pernikahan makruh ketika tidak memiliki kemampuan untuk menikah terutama dari sisi finansial dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Akan tetapi jika calon istrinya rela dan punya harta untuk membiayai kehidupan pernikahan maka dibolehkan menikah bagi mereka.
5. Hukum pernikahan haram
Pernikahan akan menjadi haram oleh beberapa sebab, bisa dari pihak suami, pihak istri atau dari akad yang tidak sesuai dengan syariat.
Beberapa hal yang menyebabkan pernikahan menjadi haram :
Sementara dari sisi akad, pernikahan akan menjadi haram apabila akadnya adalah mutah (kontrak)
Itulah poin – poin penting tentang hukum pernikahan, yang InsyaAllah dengan memahami ini akan membantu sahabat semua untuk mengenali kesiapan diri saat ini.
Lalu, selanjutnya kita akan melihat beberapa hal penting lainnya dari sisi rukun menikah dan juga aspek psikologis.
B. 6 parameter kesiapan menikah bagi muslimah :
1. Aqil Baligh
Aqil baligh adalah ketika seseorang dewasa secara fisik dan juga dewasa secara akal. Aqil adalah dewasa secara akal dan baligh dewasa secara fisik. Baligh ditandai dengan menstruasi untuk pertama kalinya bagi wanita sementara aqil adalah tentang bagaimana kedewasaan diri dalam bersikap, berprilaku dan bertindak.
Banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari adalah balignya sudah tetapi aqilnya belum. Usianya bisa saja sudah 20 tahun bahkan lebih tetapi dari sisi kedewasaan dan mental masih kekanak-kanakan.
Untuk membangun rumah tangga dalam pernikahan tentu tidak hanya dibutuhkan baligh tetapi juga perlu dewasa secara akal dan mental.
Bagaimana cara mengukur aqil baligh dalam diri kita ?
Pertama bisa dengan mengenali diri sendiri, tentu kamu bisa merasakan seberapa dewasa dirimu saat ini. Kedua minta pendapat dari orang – orang terdekat. Orang – orang yang sering berinteraksi intens denganmu. Misalnya orangtua, kakak atau adik, tetangga, sahabat dekat, guru atau yang lainnya.
2. Ridho dan Restu dari orangtua
Bagi wanita ini penting sekali, karena salah satu rukun nikah adalah adanya wali. Dalam hal ini tentu adalah orangtua wanita. Jadi pernikahan tidak sah jika tidak disetujui atau orangtua wanita khususnya ayahnya tidak mau menjadi walinya.
Makanya ini parameter kesiapan seorang wanita menikah. Pada umumnya orangtua melihat kedewasaan anaknya, saat mereka melihat anaknya sudah dirasa cocok untuk berumah tangga tentu akan menyarankannya atau bahkan merestui jika si anak mengajukan keinginan untuk menikah.
3. Kesiapan menjadi istri
Ukuran kesiapan seorang wanita menjadi istri adalah dengan melihat bagaimana pengetahuan dan pemahamannya tentang kewajibannya sebagai istri dan seberapa siap dia untuk menjalankan kewajiban tersebut.
Melalui hadist yang diriwayatkan Thabrani Rasulullah Saw bersabda :
Hak suami atas istrinya : tidak meninggalkan tempat tidur suaminya, berbuat baik (melayani) suaminya, taat kepada perintahnya, tidak keluar rumah kecuali atas izin suami, tidak membawa masuk orang yang dibenci suami”
Di surah Annisa 34 juga disebutkan bahwa laki – laki adalah qawwam, pemimpin di keluarga. Jadi kesiapan seorang wanita menjadi istri juga bisa dilihat dari kesiapan dirinya untuk dipimpin, taat dan menggapai ridho suami.
4. Kesiapan menjadi seorang ibu
Siap menikah tentu siap juga dengan buah dari pernikahan yaitu adalah lahirnya putra dan putri. Kesiapan seorang wanita menikah adalah juga tentang kesiapan seorang wanita menjalankan perannya sebagai seorang ibu. Mulai dari kesiapan diri untuk hamil, melahirkan, menyusui dan mendampingi anak – anaknya di masa – masa keemas an anaknya yaitu usia 0 – 7 tahun. Pakar parenting menyebutkan bahwa di usia ini adalah waktunya memberikan “amunisi” kepada anak, amunisi berupa kasih sayang, kehangatan, serta kebersamaan untuk putra putrinya. Dan, memang yang sangat dibutuhkan anak di usia 0 – 7 tahun adalah sosok ibunya.
Jadi, jika kita bicara idealnya tentu seorang wanita mendampingi anaknya di usia 0-7 tahun, namun jika memang ada kekhususan yang mengharuskan seorang ibu bekerja maka bisa dimaksimalkan kebersamaan anak di waktu yang tersedia.
5. Kesiapan untuk menjadi menantu
Pernikahan tidak hanya bertemunya 2 insan manusia tetapi juga tentang bertemunya 2 keluarga besar. Setelah menikah seorang wanita tidak mendapatkan pasangan tetapi juga mendapatkan keluarga baru, yaitu keluarga pasangannya. Mendapatkan orangtua baru yaitu orangtua pasangannya.
Siap menikah artinya siap menerima segala kelebihan dan kekurangan dari orangtua pasangan, dan tentunya juga siap memperlakukan orangtua pasangan sebagaimana memperlakukan orangtua sendiri.
6. Kesiapan untuk mempertahankan pernikahan
Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmuu’ Al-fatawaa 33/81 menuliskan :
“Hukum asal talak adalah terlarang, dan hanyalah diperbolehkan sesuai kebutuhan”
Perceraian adalah sesuatu yang dibolehkan namun dibenci oleh Allah Swt. Jadi kesiapan mempertahankan pernikahan sejak awal mesti dijadikan tekad dalam berumah tangga. Banyak terjadi perceraian dalam kehidupan pernikahan bukan karena masalahnya saja tetapi terkadang karena masing-masing pihak terlalu cepat menyerah.
Kesiapan menikah adalah juga tentang kesiapan untuk mempertahankan pernikahan, membangun cinta saat cinta mulai memudar, memperjuangkan kasih sayang ketika mungkin mulai hilang. Belajar untuk menyamakan frekuensi lagi ketika sudah merasa tidak cocok. Maksimalkan ikhtiar melalui doa dan juga usaha untuk mempertahankan pernikahan.
C. Apakah menikah menunggu benar – benar siap ?
Ini mungkin yang sering jadi pertanyaan banyak sahabat muslimah.
“Apakah menikah menunggu benar – benar siap ?”
Jawabannya adalah mungkin tidak ada orang yang benar – benar siap untuk menikah. Setidaknya itu berdasarkan pengalaman Kami dalam waktu hamper 10 tahun berada di dunia pranikah dan pernikahan. Setiap orang yang akan menikah biasanya akan merasakan khawatir, takut, cemas dan sebagainya. Selama tidak berlebihan maka itu adalah hal wajar. Karena dari rasa – rasa tersebutlah muncul harap yang kuat pada Allah Swt. Pada akhirnya semakin kuat doa pada Allah Swt, meminta pertolongan Allah. Serta semakin bersemangat juga untuk selalu belajar dan bertumbuh bersama pasangan.
Saya menikah di usia 19 tahun, suami saat itu berusia 22 tahun. Ya, Kami menikah di usia relatife muda. Tentunya di usia yang masih muda minim pengalaman dan juga ilmu. Satu hal yang Kami tekadkan di awal pernikahan adalah menjadikan keluarga kami sebagai keluarga pembelajar. Kami terus belajar, bertumbuh bersama. Kalau ada kesalahan atau kekurangan di evaluasi bersama, diperbaiki dan ke depannya tentunya diikhtiarkan untuk menjadi lebih baik lagi.
Poin – poin kesiapan diri untuk menikah yang kita pelajari diatas tentunya untuk menjadi pengetahuan bagi kita, menumbuhkan kesadaran akan peran dan apa saja yang akan dihadapi muslimah ke depannya setelah menikah. Serta menjadi acuan bagi kita untuk belajar, jadi 6 parameter kesiapan diatas bisa juga menjadi 6 kurikulum pembelajaran yang terus dipelajari, diperbaiki baik saat sebelum menikah atau setelah menikah kelak.
D. Hal penting yang perlu dilakukan muslimah sebelum menikah
Sahabat muslimah semua, setelah mengetahui dan mempelajari hal – hal diatas tentu kita tidak ingin hanya jadi teori saja. Jadi, sekarang Kami akan berikan beberapa hal penting yang perlu dilakukan sebelum menikah, boleh disebut juga semacam Latihan.
1. Bantu berbagai aktivitas kegiatan ibu sebagai istri di rumah
Untuk merasakan serta melatih bagaimana menjadi seorang istri cara paling sederhana dan mudah dilakukan adalah membantu pekerjaan ibu di rumah. Seperti bangun lebih awal, menyiapkan sarapan, makan untuk keluarga, membersihkan rumah dan seterusnya.
Memasak, menyiapkan berbagai menu santapan untuk suami secara syariat memang bukanlah kewajiban istri. Tetapi secara kebiasaannya di Indonesia itu adalah hal yang lumrah dikerjakan oleh istri. Serta juga dengan memiliki kemampuan serta keahlian lebih dalam hal ini akan menjadi pengikat cinta dari pasangan sahabat setelah menikah kelak.
2. Bangun interaksi dan komunikasi yang intens dengan Ayah
Dalam ilmu pengasuhan idealnya seorang wanita ketika sudah baligh dekatkan dengan ayahnya. Ada beberapa hikmah dan manfaat dari kedekatan seorang anak gadis dengan ayahnya, diantaranya adalah :
Ini penting untuk bisa merasakan bagaimana menjadi ibu, merasakan proses mengasuh dan memperlakukan anak. Bisa dilakukan pada adik sendiri jika masih ada adik kecil, bisa juga kepada ponakan, mungkin diantara sahabat ada yang kakaknya yang sedang memiliki anak kecil. Coba sesekali minta izin untuk mengurus bayi atau balita tersebut, misal coba belajar memandikannya, mengganti pakaiannya, mengganti popoknya dan seterusnya.
4. Temukan role model keluarga ideal
Salah satu cara termudah belajar adalah dengan memodel atau meneladani orang yang telah berhasil dan bagus rumah tangganya. Tugas sahabat adalah menemukan role model keluarga terbaik dari berbagai generasi.
Nah, kurang lebih demikian tugasnya ya. Silakan dilakukan secara bertahap. InsyaAllah ketika sahabat melakukan latihan diatas akan membantu mengubah pola pikir, dan tentunya mendapatkan referensi terbaik dalam membangun kehidupan berumah tangga.
Demikian materi ke dua, selamat belajar dan selamat berlatih.